Review Jurnal 1
PEMANFAATAN KONSEP KAWASAN
KOMODITAS UNGGULAN PADA KOPERASI PERTANIAN
Burhanuddin
(Peneliti
Utama pada Deputi Pengkajian Sumberdaya UKMK)
INFOKOP VOLUME 16 –
SEPTEMBER 2008 : 143-154
Abstrak
Salah satu peluang pengembangan usaha pada koperasi
khususnya yang berkembang di sector pertanian adalah melalui program
pengembangan kawasan komoditas unggulan pada suatu wilayah. Dasar pemikirannya
adalah bahwa setiap wilayah umumnya memiliki kekhasan yang membentuk keunggulan
komparatif.
Konsep kawasan komoditas unggulan sebenarnya mereplikasi
keberhasilan masyarakat dan pemerintah Jepang dan Thailand yang sudah
membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas yang dibangun brdasarkan
keunggulan komparatifnya. Di Jepang dikenal dengan istilah One Village One
Commodity (OVOC) atau One Village One Product (OVOP) dan di Thailand, program
sejenis dan dikembangkan secara lanjutdengan nama One Tambon One Product
(OTOP).
Untuk mendukung program ini diperlukan lanngkah awal
berupa pemetaan dan identifikasi potensi produk unggulan, seleksi koperasi
potensial, pemngamatan terhadap kesesuaian ppotensi sumber daya alam, SDM yang
mempunyai keterampilan, etos kerja dan semangat kerjasama. Dibutuhkan
kosistensi kebijakan dan program, bila perlu dibentuk suatu social lab project
yang pada gilirannya menjadi rujukan semua pihak.
I.
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Pada saat ini perhatian terhadap pengembangan lembaga koperasi memang
tidak lagi segencar dan semarak seperti pada periode tahun 1970 dan 1980-an
ketika pemerintah dan masyarakat larut dalam masalah berkoperasi. Masa itu
hampir semua bidang usaha ingin dikoperasikan dan terkesan mengabaikan potensi
kepentingan serta kearifan local spesifik. Memang sulit dibantah sebab sosok
koperasi menjadi andalan kelembagaan yang memiliki kontitusional, yakni pasal
33 Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan the founding fathers of Indonesia meyakini
bahwa lembaga koperasi sangat sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang
mengandung nilai-nilai luhur dalam bentuk gotong royong, solidaritas, kejujuran,
keterbukaan, kebersamaan dan esensi moral religious lainnya.
Koperasi sudah ditakdirkan tumbuh dan berkembang di Indonesia serta
telah menjadi fenomena tersendiri, dan karena dipercaya masih memiliki peluang
membangun ekonomi masyarakat, maka koperasi tetap perlu diberi ruang keberpihakan.
Naskah ini mencoba untuk mengkaitkan salah satu peluang pengembangan
usaha pada koperasi, khususnya yang berkecimpung di sektor pertanian, yaitu
melalui konsep yang oleh penulis disebut sebagai kawasan komoditas unggulan.
Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap wilayah pedesaan umumnya memiliki
kekhasan tersendiri dalam menghasilkan komoditas tertentu karena kondisi alam,
budaya cocok tanam, kebiasaan petani, dan sebagainya. Sifat unik per wilayah
atau kawasan dengan produk-produk yang spesifik ini layak diangkat dan
dikembangkan untuk kemaslahatan rakyat kecil melalui lembaga koperasi. Tidak
ada salahnya meniru cara bangsa lain membangun rakyatnya sepanjang mampu
dilakukan dan membawa nilai tambah.
II.
Pemahaman
Konseptual
Konsep kawasan komoditas unggulan sebenarnya akan mereplikasi
keberhasilan masyarakat dan pemerintah Jepang dan juga Thailand yang sudah
membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas. Di Jepang, konsep ini
dikenal dengan istilah One Village One Commodity (OVOC) atau One Village One
Product (OVOP). Bermula di Propinsi Oita-Jepang, Gerakan Satu Desa Satu
Komoditas ini sukses mengangkat harkat desa miskin Oyama berkat adanya hasil
pertanian unggulan meskipun dengan skala kecil (M. Tambunan, 2003 : 33).
Di Thailand, program sejenis diperkenalkan pertama kali oleh Perdana
Menteri Thaksin Shinawatra yang terinspirasi dan kemudian mengadopsi program
tersebut untuk dikembangkan lebih lanjut dengan nama One Tambon One Product
(OTOP). Tambon dalam bahasa setempat berarti kecamatan, sehingga OTOP dikenal
sebagai suatu konsep atau program untuk menghasilkan satu jenis komoditas atau
produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu. Pengertian kawasan
dalam hal ini bisa meliputi suatu areal wilayah dengan luasan tertentu yang
dalam hal ini adalah wilayah kecamatan. OTOP di Thailand tidak lagi diartikan
secara sempit sebagai batasan kawasan dan produk tertentu saja, tetapi sudah
mengarah menjadi industri pedesaan dengan produk yang merambah ke luar negeri.
Secara konseptual, sebenarnya model OTOP maupun OVOP identik dengan
konsep Agro-Ecological Zone (AEZ) atau Perwilayahan Komoditas Unggulan yang
juga mengarahkan suatu kawasan tertentu untuk menghasilkan satu atau beberapa
jenis komoditas pertanian atau bahkan industri unggulan. Bedanya dalam konsep
AEZ terdapat perhatian dan penekanan yang sangat kental kepada aspek kondisi
lahan, topografi, sarana dan prasarana, serta kondisi sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat setempat. Adapun konsep OVOP ataupun OTOP diterapkan pada
kondisi dan kapasitas yang sudah terbentuk tetapi belum dioptimalkan untuk
memasuki jangkauan pasar yang lebih luas.
Program OTOP diluncurkan sebagai terobosan untuk menggerakkan produksi
dalam negeri khususnya dengan mengembangkan produk khas local yang telah
dilaksanakan secara turun-temurun di wilayah yang bersangkutan. Setiap tambon
diupayakan memiliki sedikitnya satu produk unggulan. Program ini mendorong
pemanfaatan sumberdaya lokal (alam, manusia, dan teknologi), mengandalkan
tradisi setempat dan menggunakan keahlian terbatas yang dimiliki masyarakat.
Terutama untuk mendapatkan nilai tambah (added value) melalui perbaikan mutu
dan penampilan. Misi program dikembangkan dengan berlandaskan kepada tiga
filosofi yaitu: (1) merupakan produk lokal yang mengglobal, (2) menghasilkan
produk atas kreativitas dan dengan kemampuan sendiri, serta (3) sekaligus
mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia. Secara perlahan tetapi pasti
produk-produk baru akan bermunculan dan produk lama hadir dalam wajah baru.
Satu tambon ternyata bisa menghasilkan sejumlah produk unggulan. OTOP secara
konsisten diadopsi oleh hampir seluruh desa dengan melibatkan organisasi
masyarakat setempat dan menurut laporan terakhir telah tercatat sebanyak 75.840
unit OTOP yang telah terdaftar di Thailand. Masyarakat pengusaha mikro dan
kecil serta gerakan koperasi sangat antusias menyambut program OTOP di
Thailand.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, (2000). Pendekatan Sentra Kluster dalam Mengembangkan UKM. Kementerian
Koperasi dan UKM. Jakarta.
Anonymous, (2007). Notulen Hasil Diskusi One Tambon One Product, di Kementerian
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta 7 Mei 2007.
Burhanuddin R., (2006). Perwilayahan Komoditas Kecamatan Muara
Bengkal, Kabupaten Kutai Timur. Kerjasama CV. Asiplant, Bontang, Kalimantan
Timur.
Pasaribu, Sahat M., (2007). Program OTOP Thailand dan Tantangan
Pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Menengah. Makalah Diskusi One Tambon
One Product, di Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah,
Jakarta 7 Mei 2007.
Tambunan, Mangara dan Ubaidillah, (2003). Pasar Global, Apakah Ancaman atau
Tantangan Bagi UKM ?, dalam Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi.
Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar