Minggu, 10 November 2013

Pendahuluan: Pemanfaatan konsep kawasan komoditas unggulan pada koperasi pertanian

Review Jurnal 1
PEMANFAATAN KONSEP KAWASAN KOMODITAS UNGGULAN PADA KOPERASI PERTANIAN
Burhanuddin
(Peneliti Utama pada Deputi Pengkajian Sumberdaya UKMK)
INFOKOP VOLUME 16 – SEPTEMBER 2008 : 143-154
Abstrak
            Salah satu peluang pengembangan usaha pada koperasi khususnya yang berkembang di sector pertanian adalah melalui program pengembangan kawasan komoditas unggulan pada suatu wilayah. Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap wilayah umumnya memiliki kekhasan yang membentuk keunggulan komparatif.
            Konsep kawasan komoditas unggulan sebenarnya mereplikasi keberhasilan masyarakat dan pemerintah Jepang dan Thailand yang sudah membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas yang dibangun brdasarkan keunggulan komparatifnya. Di Jepang dikenal dengan istilah One Village One Commodity (OVOC) atau One Village One Product (OVOP) dan di Thailand, program sejenis dan dikembangkan secara lanjutdengan nama One Tambon One Product (OTOP).
            Untuk mendukung program ini diperlukan lanngkah awal berupa pemetaan dan identifikasi potensi produk unggulan, seleksi koperasi potensial, pemngamatan terhadap kesesuaian ppotensi sumber daya alam, SDM yang mempunyai keterampilan, etos kerja dan semangat kerjasama. Dibutuhkan kosistensi kebijakan dan program, bila perlu dibentuk suatu social lab project yang pada gilirannya menjadi rujukan semua pihak.
I.                   Pendahuluan
1.1.            Latar Belakang
Pada saat ini perhatian terhadap pengembangan lembaga koperasi memang tidak lagi segencar dan semarak seperti pada periode tahun 1970 dan 1980-an ketika pemerintah dan masyarakat larut dalam masalah berkoperasi. Masa itu hampir semua bidang usaha ingin dikoperasikan dan terkesan mengabaikan potensi kepentingan serta kearifan local spesifik. Memang sulit dibantah sebab sosok koperasi menjadi andalan kelembagaan yang memiliki kontitusional, yakni pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Bahkan the founding fathers of Indonesia meyakini bahwa lembaga koperasi sangat sesuai dengan kultur masyarakat Indonesia yang mengandung nilai-nilai luhur dalam bentuk gotong royong, solidaritas, kejujuran, keterbukaan, kebersamaan dan esensi moral religious lainnya.
Koperasi sudah ditakdirkan tumbuh dan berkembang di Indonesia serta telah menjadi fenomena tersendiri, dan karena dipercaya masih memiliki peluang membangun ekonomi masyarakat, maka koperasi tetap perlu diberi ruang keberpihakan.
Naskah ini mencoba untuk mengkaitkan salah satu peluang pengembangan usaha pada koperasi, khususnya yang berkecimpung di sektor pertanian, yaitu melalui konsep yang oleh penulis disebut sebagai kawasan komoditas unggulan. Dasar pemikirannya adalah bahwa setiap wilayah pedesaan umumnya memiliki kekhasan tersendiri dalam menghasilkan komoditas tertentu karena kondisi alam, budaya cocok tanam, kebiasaan petani, dan sebagainya. Sifat unik per wilayah atau kawasan dengan produk-produk yang spesifik ini layak diangkat dan dikembangkan untuk kemaslahatan rakyat kecil melalui lembaga koperasi. Tidak ada salahnya meniru cara bangsa lain membangun rakyatnya sepanjang mampu dilakukan dan membawa nilai tambah.

II.                 Pemahaman Konseptual
Konsep kawasan komoditas unggulan sebenarnya akan mereplikasi keberhasilan masyarakat dan pemerintah Jepang dan juga Thailand yang sudah membuktikan kehandalan model satu desa satu komoditas. Di Jepang, konsep ini dikenal dengan istilah One Village One Commodity (OVOC) atau One Village One Product (OVOP). Bermula di Propinsi Oita-Jepang, Gerakan Satu Desa Satu Komoditas ini sukses mengangkat harkat desa miskin Oyama berkat adanya hasil pertanian unggulan meskipun dengan skala kecil (M. Tambunan, 2003 : 33).
Di Thailand, program sejenis diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri Thaksin Shinawatra yang terinspirasi dan kemudian mengadopsi program tersebut untuk dikembangkan lebih lanjut dengan nama One Tambon One Product (OTOP). Tambon dalam bahasa setempat berarti kecamatan, sehingga OTOP dikenal sebagai suatu konsep atau program untuk menghasilkan satu jenis komoditas atau produk unggulan yang berada dalam suatu kawasan tertentu. Pengertian kawasan dalam hal ini bisa meliputi suatu areal wilayah dengan luasan tertentu yang dalam hal ini adalah wilayah kecamatan. OTOP di Thailand tidak lagi diartikan secara sempit sebagai batasan kawasan dan produk tertentu saja, tetapi sudah mengarah menjadi industri pedesaan dengan produk yang merambah ke luar negeri.
Secara konseptual, sebenarnya model OTOP maupun OVOP identik dengan konsep Agro-Ecological Zone (AEZ) atau Perwilayahan Komoditas Unggulan yang juga mengarahkan suatu kawasan tertentu untuk menghasilkan satu atau beberapa jenis komoditas pertanian atau bahkan industri unggulan. Bedanya dalam konsep AEZ terdapat perhatian dan penekanan yang sangat kental kepada aspek kondisi lahan, topografi, sarana dan prasarana, serta kondisi sosial, budaya dan ekonomi masyarakat setempat. Adapun konsep OVOP ataupun OTOP diterapkan pada kondisi dan kapasitas yang sudah terbentuk tetapi belum dioptimalkan untuk memasuki jangkauan pasar yang lebih luas.

Program OTOP diluncurkan sebagai terobosan untuk menggerakkan produksi dalam negeri khususnya dengan mengembangkan produk khas local yang telah dilaksanakan secara turun-temurun di wilayah yang bersangkutan. Setiap tambon diupayakan memiliki sedikitnya satu produk unggulan. Program ini mendorong pemanfaatan sumberdaya lokal (alam, manusia, dan teknologi), mengandalkan tradisi setempat dan menggunakan keahlian terbatas yang dimiliki masyarakat. Terutama untuk mendapatkan nilai tambah (added value) melalui perbaikan mutu dan penampilan. Misi program dikembangkan dengan berlandaskan kepada tiga filosofi yaitu: (1) merupakan produk lokal yang mengglobal, (2) menghasilkan produk atas kreativitas dan dengan kemampuan sendiri, serta (3) sekaligus mengembangkan kemampuan sumberdaya manusia. Secara perlahan tetapi pasti produk-produk baru akan bermunculan dan produk lama hadir dalam wajah baru. Satu tambon ternyata bisa menghasilkan sejumlah produk unggulan. OTOP secara konsisten diadopsi oleh hampir seluruh desa dengan melibatkan organisasi masyarakat setempat dan menurut laporan terakhir telah tercatat sebanyak 75.840 unit OTOP yang telah terdaftar di Thailand. Masyarakat pengusaha mikro dan kecil serta gerakan koperasi sangat antusias menyambut program OTOP di Thailand.

DAFTAR PUSTAKA
Anonymous, (2000). Pendekatan Sentra Kluster dalam Mengembangkan UKM. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Anonymous, (2007). Notulen Hasil Diskusi One Tambon One Product, di Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta 7 Mei 2007.
Burhanuddin R., (2006). Perwilayahan Komoditas Kecamatan Muara Bengkal, Kabupaten Kutai Timur. Kerjasama CV. Asiplant, Bontang, Kalimantan Timur.
Pasaribu, Sahat M., (2007). Program OTOP Thailand dan Tantangan Pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Menengah. Makalah Diskusi One Tambon One Product, di Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Jakarta 7 Mei 2007.
Tambunan, Mangara dan Ubaidillah, (2003). Pasar Global, Apakah Ancaman atau Tantangan Bagi UKM ?, dalam Ekonomi Kerakyatan dalam Kancah Globalisasi. Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar