Oleh: Bambang
Suprayitno
(Staf Pengajar FISE
Universitas Negeri Yogyakarta)
Jurnal Ekonomi &
Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, November 2007
C. Hambatan Sekaligus Kritik Terhadap
Koperasi
Secara umum jika diinventaris
maka kendala yang juga bisa dianggap kritik yang dihadapi oleh koperasi ada dari berbagai sisi sebagaimana
berikut:
1. Sumber Daya Manusia (SDM)
Banyak sekali
kenyataan di lapangan yang mengungkapkan bahwa SDM yang ikut terlibat di dalamnya baik sebagai anggota, pengurus,
maupun pengelola koperasi kurang
bisa mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan dengan
tidak professional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah
sebagaimana badan usaha lainnya.
Dari sisi keanggotaan, seringkali
pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh
pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan
dari atas sehingga pelaksanaan koperasi juga tidak sepenuh hati.
Pengurus yang dipilih dalam Rapat
Anggota (RA) sering kali dipilih berdasarkan status sosial (baik strata ekonomi
ataupun adat) dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengelolaan
koperasi dijalankan dengan kurang adanya kontrol yang ketat dari para
anggotanya. Hal ini disebabkan karena adanya rasa keengganan dari para anggota
itu sendiri.
Sedangkan pengelola yang ditunjuk
oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional. Seringkali
pengelola yang diambil bukan dari kalangan yang berpengalaman baik dari sisi
akademis maupun penerapan dalam wirausaha melainkan dari orang-orang yang
kurang atau bahkan tidak mempunyai pekerjaan.
2.
Konflik Kepentingan dari Sisi Konsep
Koperasi
Koperasi pada dasarnya adalah badan
hukum sebagaimana badan usaha lainnya seperti CV, PT, Firma dan sebagainya.
Namun di sisi lain koperasi dituntut untuk mensejahterakan anggotanya. Di satu
sisi koperasi jelas membutuhkan keuntungan untuk kelangsungan usahanya namun di
sisi lain keberadaan berdasarkan didirikannya adalah untuk memajukan
kesejahteraan anggotanya.
Ketika koperasi dipandang sebagai
badan usaha maka tentunya koperasi (dalam hal ini pengelola) dituntut untuk
mengoptimalkan keuntungan dengan cara mendapatkan pendapatan yang
sebesar-besarnya. Namun mengingat semangat didirikannya koperasi adalah untuk
memajukan anggotanya maka koperasi seperti halnya koperasi konsumen atau
koperasi simpan pinjam tentunya tidak bisa mengambil margin yang banyak (untuk
koperasi konsumen) atau tidak dapat menetapkan tingkat pengembalian yang besar
(untuk koperasi simpan pinjam). Sebab koperasi ini tentunya beroperasi untuk
melayani konsumen yang notabene adalah anggotanya sendiri.
3.
Keuangan
Kurang berkembangnya koperasi juga
berkaitan sekali dengan kondisi keuangan (financial condition) badan usaha
tersebut. Seringkali kendala modal yang dimiliki menjadi perkembangan koperasi
terhambat. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan modal yang
kuat dari dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal dari sumber
di luar koperasi itu sendiri.
Kendala modal dari dalam tidak kuat
biasanya kurang bisa ditutupi dengan sumber modal dari luar akibat kurang
profesional pengelolaan manajemen koperasi. Hal ini bisa disebakan karena
kurang adanya pengelolaan seperti pembukuan yang kurang baik ataupun dari segi
keuangan koperasi yang kurang sehat. Akibatnya ketika koperasi itu ingin
mengajukan permohonan modal terhadap pihak luar seperti bank ataupun lembaga
keuangan lainnya maka seringkali ditolak. Sedangkan ketika menumpukan modal
dari dalam keuangan koperasi maka kurang memungkinkan untuk melakukan ekspansi
usaha akibat terlalu sedikitnya tingkat pengembalian yang diperoleh.
Sebaliknya ketika terlalu
menggantungkan modal dari luar seringkali biaya yang menjadi beban kegiatan
koperasi itu menjadi lebih besar dari tingkat pengembaliannya sehingga dari
segi keuangan malah semakin memberatkan.
4.
Rendahnya Etos Kerja Personal dalam
Koperasi
Rendahnya etos kerja ini selain
berkaitan dengan rendahnya kualitas SDM juga bisa disebabkan karena kurang
adanya rangsangan untuk meningkatkan gairah kerja para personel yang terlibat
dalam kegiatan koperasi sendiri. Secara organisasi anggota koperasi (yang hanya
sebatas sebagai anggota saja) hanya punya andil dalam pengumpulan modal baik
itu berasal dari simpanan pokok, simpanan wajib atau simpanan lainnya. Namun di
sisi lain yang bertanggung jawab dan banyak mengeluarkan keringat dan pikiran
adalah para personel yang terlibat dalam pengelolaan koperasi mulai dari
pengawas, pengurus, ataupun pengelolanya (manajer).
Sisa Hasil Usaha (SHU) diperoleh
dari laba bersih yang dihasilkan dari kegiatan koperasi. SHU ini selanjutnya
akan dipotong dana cadangan yang telah ditetapkan dalam rapat anggota untuk
kepentingan ekspansi kegiatan usaha koperasi. SHU yang telah dikurangi tadi
selanjutnya kan dibagikan kepada para anggotanya berdasarkan andilnya (modal
yang telah disetorkannya).
Dari skema pembagian SHU ini jelas
terlihat bahwa personel yang telah berbuat banyak untuk koperasi (pengawas,
pengurus, dan pengelola) mandapatkan reward (penghargaan) yang lebih rendah
daripada para anggota yang justru lepas tangan dalam pengelolaan koperasi.
Skema ini tentunya member dampak negatif bagi semangat kerja orang-orang yang
paling berjasa tadi.
5. Kurang Bisa Mengoptimalkan Penggunaan Teknologi Informasi (TI) Baik
Dalam Pengembangan Produk Maupun Pemasaran
Untuk koperasi produsen seringkali
terjadi adanya dalam sisi pemasaran. Kebanyakan koperasi yang ada hanya
mengandal pemasarannya berdasarkan sistem konvensional misalnya kurangnya
publikasi baik melalui selebaran, media cetak, elektronik ataupun internet.
Walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang sudah menggunakan media internet,
televise, radio, dan lain-lain. Namun banyak sekali yang masih mengandalkan
cara-cara lama yaitu menyebarkan informasi dari mulut kemulut.
Karena kita sudah memasuki era
globalisasi dan perdagangan bebas maka sewajarnyalah untuk mengoptimalkan
penggunaan Teknologi Informasi (TI). Sebab tidak menutup kemungkinan yang akan
bersaing di Indonesia adalah perusahaanperusahaan besar yang juga menghasilkan
produk yang serupa dengan yang dihasilkan dengan UMKM. Sedangkan UMKM di
Indonesia seringkali menggunakan teknologi turun-temurun yang tidak berkembang
sehingga nantinya akan kalah dengan produk asing baik dari kualitas mapun
kuantitasnya. Sehingga penting sekali untuk memanfaatkan TI baik untuk
kepentingan pengembangan produk maupun pemasarannya. Menurut hasil studi
lembaga riset AMI Partners, hanya 20% UKM di Indonesia yang memiliki komputer.
Hal ini diduga karena rendahnya
adopsi TI oleh UKM di Indonesia. Sekali lagi ini berkaitan dengan SDM dan
tentunya juga keterbatasan modal. Berdasar survei yang dilakukan oleh penulis
terhadap UKM di Yogyakarta, alasan UKM yang belum menggunakan komputer adalah
karena tidak merasa butuh (82,2%), dukungan finansial yang terbatas (41,1%),
dan karena tidak memiliki keahlian untuk menggunakan (4,1%).
Dari UKM yang telah mempunyai
komputer, belum banyak yang menggunakannya untuk aktivitas strategis dan
berorientasi eksternal. Hal ini didukung oleh data bahwa sebanyak 68,9% UKM
menggunakan komputer hanya untuk mengetik surat atau laporan, 66,67% untuk
melakukan perhitungan, 34,5% untuk mengakses Internet, 43,7% untuk mendesain
produk, 28,7% untuk menjalankan sistem informasi, dan 20,7% untuk melakukan
presentasi (Indarti, 2007).
D. Solusi
Terhadap Permasalahan Yang Ada Dalam Koperasi
Berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh
koperasi maka penulis mengajukan beberapa solusi yang bisa diimplementasikan
dalam koperasi sehingga unit usaha UMKM yang bernaung dibawahnya semakin maju
dan kuat. Jika kinerja koperasi tidak dibenahi maka besar kemungkinan UMKM yang
bernaung dibawahnya semakin lemah dan keropos karena adanya efek negatif karena
bergabungnya dalam koperasi.
1.
Peningkatan Kualitas SDM dalam
Koperasi
Anggota-anggota koperasi tidak dipungkiri
berasal dari SDM yang kurang berkualitas oleh karenanya hal ini tidak bisa
dipaksakan untuk meningkat dengan perkembangan yang baik. Yang paling penting
untuk dijadikan fokus peningkatan SDM adalah personel yang terlibat dalam
kegiatan operasional koperasi. Personel tersebut adalah pengawas, pengurus, dan
pengelola.
a.
Pemilihan pengurus dan pengawas
koperasi
Untuk pengawas dan pengurus yang notabene
adalah anggota koperasi maka sebaiknya dipilih bukan dari anggota yang
semata-mata tinggi dari strata sosialnya, namun adalah orang-orang yang
dipandang cakap dan mempunyai logika yang cukup dalam mengawasi dan menjalankan
koperasi sebagaimana komisaris dan direksi dalam badan usaha lainnya.
Hal ini memang cukup pelik, namun pemerintah
yang punya kepentingan dan wewenang dalam hal ini seperti yang bernaung dalam
Departemen atau Dinas yang bersangkutan serta kelompok Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang punya kepentingan dan konsen dalam bidang ini bisa
melakukan pendampingan dalam pendirian dan jalannya koperasi. Pendampingan itu
bisa berbentuk sosialisasi terhadap anggota tentang konsep koperasi ketika
koperasi itu akan didirikan serta pelatihan terhadap para personel tersebut.
b.
Pemilihan pengelola koperasi
Sedangkan untuk pengelola koperasi (manajer),
sebaiknya dipilih dari kalangan yang terpelajar ataupun dari kalangan yang
berpengalaman. Kelompok ini dipandang masih relative punya idealisme dan
dedikasi serta kemampuan yang cukup untuk menjalankan koperasi. Selain itu dari
segi mental kelompok ini relatif masih bisa diarahkan sehingga juga sangat
diperlukan pendampingan dari pihak pemerintah dan LSM tadi.
c.
Diadakannya magang mahasiswa
Alternatif untuk penyediaan dan peningkatan SDM
dalam koperasi adalah dilakukannya magang bagi mahasiswa tingkat akhir atau
yang telah lulus (khususnya dengan displin ilmu yang berkaitan dengan koperasi
yang bersangkutan) untuk mengikuti kegiatan koperasi. Alternatif ini bisa
dilakukannya dengan cara dibuatkan alternatif KKN sebagai pendamping UMKM.
Dengan cara ini maka terjadi simbiosis mutualisme yaitu koperasi mendapatkan
tenaga yang terampil dan di sisi lain mahasiswa mendapatkan ilmu dan
menerapkannya pada dunia usaha secara nyata. Hal ini telah dilakukan di UGM
dengan lembaganya yang bernaman SMEDC.
2. Penguatan dari Sisi Finansial
Untuk membentuk finansial koperasi yang sehat
maka diperlukan beberapa langkah sebagaimana berikut.
a.
Perlunya pembinaan untuk mempunyai
tata buku yang lebih baik
Langkah ini merupakan langkah awal untuk
melakukan penguatan dari sisi financial. Jika pencatatan serta pembuatan neraca
dan laporan rugi yang baik maka pengurus mempunyai informasi yang cukup dari
sisi keuangan yang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan koperasi.
Dengan sistem tata buku (akuntansi) yang baik
sebagaimana badan usaha lainnya maka pengelola koperasi mudah memantau
pengeluaran dan menentukan pendapatan yang mana sekiranya bisa dioptimalkan.
Selain itu pengelola koperasi bisa menghindari cash flow (aliran dana yang
masuk dan keluar) yang sekiranya menimbulkan resiko yang lebih tinggi.
Tentunya ini berdampak untuk mendapatkan dana
eksternal. Dengan adanya tata buku yang baik maka tentunya secara administratif
akan memudahkan koperasi utnuk mendapatkan dukungan dana di luar modal
anggotanya seperti pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
Langkah pembinaan ini bisa dilakukan mandiri
dan juga perlu pendampingan dari pemerintah dan LSM yang punya kepentingan dan
konsen dalam koperasi.
b.
Perlunya diterapkan sistem syariah
(bagi hasil) dalam operasional koperasi
Sistem ini bisa dijadikan alternatif atau opsi
bagi konsumen terutama untuk koperasi simpan pinjam. Pola ini ditujukan selain
untuk merangsang para anggota memanfaatkan dana di koperasi juga untuk
menghindari resiko yang lebih besar. Terlebih pola ini sekarang menjadi trend
dan dirasa aman dari sisi spiritual.
Dengan system syariah maka baik koperasi maupun
konsumen merasa untung satu sama lain sesuai dengan akad yang dibuat
sebelumnya. Ketika usaha yang dijalankan konsumen merugi maka ruginya bisa
ditanggung bersama. Sebaliknya ketika konsumen untung maka imbal balik yang
didapat koperasi relative lebih besar jika menerapkan system bunga.
Oleh karena itu untuk menghindari kerugian dan
mengoptimalkan keuntungan maka pihak koperasi tentunya perlu pendampingan
terhadap konsumen, dengan begitu maka kegiatan konsumen lebih terarah dan bisa
mencapai tujuannya.
3.
Perlunya Ketegasan Dalam Konsep
Koperasi
Walaupun organisasi koperasi bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun operasional dari koperasi bukannya
berasaskan sebagaimana organisasi sosial melainkan harus tetap dijalankan
secara professional. Sehingga perlu ditanamkan kepada personel yang terlibat
langsung dalam koperasi bahwa koperasi harus dijalankan secara professional
dengan menjalakan kedisplinan dan menerapkan sikap kehati-hatian sebagaimana
badan usaha lainnya. Dengan demikian maka tidak ada keteledoran trelebih
penyelewengan yang nantinya berakibat meruntuhkan koperasi itu sendiri.
4.
Diperlukan Perombakan Sistem
Pembagian SHU
Sebagaimana badan usaha lainnya dimana para
direksi mempunyai reward yang tinggi maka di koperasi pun perlu diterapkan
pembagian reward yang seadiladilnya. Sebagaimana pola pendelegasian dalam dunia
usaha UMKM biasanyapengelola versus pemilik modal mendapatkan reward sebesar
60%: 40% atau 50%:50%. Dengan porsi ini maka perlu dilakukan revisi terhadap
pembagian SHU yang sudah mentradisi.
Pola alur pemerolehan SHU yang dibagikan kepada
anggota merujuk pada UU Koperasi dimana SHU diperoleh dari laba bersih yang
dikurangi dengan dana cadangan. Dana cadangan ini ditetapkan dalam RA. Namun
pada pelaksanaannya pemerolehan SHU yang dibagikan kepada para anggota bisa
bervariasi sesuai dengan kesepakatan dalam RA tanpa melanggar pola yang
tertulis dalam UU koperasi. Bisa jadi SHU sebelum dibagikan kepada para anggota
dialokasikan untuk pendidikan , kesejahteraan, dan lain sebagainya. Merujuk
pola alur pemerolehan SHU (sesuai dengan UU Koperasi) yang selanjutnya akan
dibagikan kepada anggota maka pola pemerolehan SHU yang telah dimodifikasi bisa
dijelaskan dengan ilustrasi sebagaimana tabel 3.
Tabel 3
Skema Reward Sesuai Kinerjanya
|
Skema I : 60% pengurus 40% pemodal
|
|
Kode
|
Keterangan
|
Jumlah (ribu)
|
L
|
Laba bersih
((pendapatan-berbagai biaya)-pajak)
|
50.000
|
G
|
Biaya Gaji (pengurus
dan pengelola)
|
12.000
|
LR
|
Laba jika biaya Gaji
tidak dihitung (LR=L+G)
|
62.000
|
Dengan skema 60% pengurus 40%
pemodal maka :
|
||
GR
|
Gaji plus bonus
semestinya harus sebesar 60% dari LR
|
37.200
|
B
|
Sehingga bonus untuk
pengurus dan pengelola (ingat GR=G+B)
|
25.200
|
|
Sedangkan Dana
Cadangan plus SHU besarnya 40% dari laba rill
|
24.800
|
DC
|
Jika Dana Cadangan
yang ditetapkan maka:
|
10.000
|
SHU
|
SHU yang dibagikan
kepada anggota
|
14.800
|
Jadi bonus sebesar
25,200 dibagikan kepada para pengurus dan pengelola sesuai dengan proporsi
gajinya.
Sedangkan SHU yang
dibagikan kepada pemilik modal (anggota) adalah sbesar 14,800 Dengan skema
ini maka reward yang diterima pengurus (termasuk pengelola) adalah sebesar
60% sedangkan pemilik modal adalah 40%
|
||
|
Skema II : 50% pengurus 50% pemodal
|
|
Kode
|
Keterangan
|
Jumlah (ribu)
|
L
|
Laba bersih
((pendapatan-berbagai biaya)-pajak)
|
50.000
|
G
|
Biaya Gaji (pengurus
dan pengelola)
|
12.000
|
LR
|
Laba jika biaya Gaji
tidak dihitung (LR=L+G)
|
62.000
|
Dengan skema 50% pengurus 50%
pemodal maka :
|
||
GR
|
Gaji plus bonus
semestinya harus sebesar 60% dari LR
|
31.000
|
B
|
Sehingga bonus untuk
pengurus dan pengelola (ingat GR=G+B)
|
19.000
|
|
Sedangkan Dana
Cadangan plus SHU besarnya 40% dari laba rill
|
31.000
|
DC
|
Jika Dana Cadangan
yang ditetapkan maka:
|
10.000
|
SHU
|
SHU yang dibagika
kepada anggota
|
21.000
|
Jadi bonus sebesar
19,000 dibagikan kepada para pengurus dan pengelola sesuai dengan
proporsi gajinya.
Sedangkan SHU yang
dibagikan kepada pemilik modal (anggota) adalah sebesar 21,000
Dengan skema ini
maka reward yang diterima pengurus (termasuk pengelola) adalah
sebesar 50%
sedangkan pemilik modal adalah 50%
Kedua skema ini
hanyalah modifikasi dari pembagian SHU yang mengacu pada UU
koperasi. Namun jika
dilaksanakan pada koperasi pada dataran nyata maka bisa lebih
bervariasi dan
mendetail tergantung dari RAT koperasi yang bersangkutan.
|
Jika dilakukan pembagian SHU dengan pola lama
maka pemilik modal (anggota) mendapatkan Rp40juta yang diperoleh dari laba
bersih dikurangi Dana Cadangan. Sedangkan pengurus dan pengelola hanya
mendapatkan gaji yang totalnya sebesar Rp12juta. Namun dengan pola yang baru
maka selain menerima gaji maka pengurus (dalam hal ini pengurus dan pengelola)
diberi bonus sehingga imbalan yang mereka terima bisa mencapai 60% atau 50%
dari laba bersih riil yang didapatkan.
Dengan skema baru ini maka pengurus dan
pengelola mendapatkan insentif yang nantinya dapat merangsang kinerja mereka
lebih baik. Hal ini juga berguna menghindari penyelewengan yang dilakukan oleh
pengurus dan pengelola. Skema yang baru ini secara logis dirasa lebih adil
dibandingkan dengan skema yang lama. Ketika terjadi kerugian maka ditanggung
pengurus maka sebaliknya sepantasnyalah ketika mengalami keuntungan yang besar
maka tentunya pengurus mendapatkan reward yang lebih besar pula.
5.
Peningkatan Pemanfaatan TI
Memang koperasi memang terkendala dari sisi SDM
dan permodalan. Namun sisi pemanfaatan TI ini perlu dipaksakan demi kemajuan
koperasi itu sendiri. Selain peningkatan kualitas SDM yang bisa dilakukan
dengan pendampiangn oleh instansi yang berkaitan dan LSM yang berkepentingan
maka juga harus didukung turun tangannya pihak BUMN sperti halnya Telkom untuk
membantu penyediaan sarana internet serta perlengkapannya.
Perusahaan-perusahaan besar khususnya BUMN
perlu didorong untuk memberikan penyediaan sarana tersebut sebagaimana didengungkannya
semangan Corporate Social Responsibility (CSR). BUMN seperti Telkom terlebih
lagi yang punya keterkaitan sebagai penyedia prasarana internet didorong untuk
membantu penyediaan TI ini. Dengan familiarnya kalangan koperasi dengan TI dan
menikmati hasilnya sehingga secara tidak langsung dapat mendorong adanya
kebutuhan akan internet sehingga jasa internet sangat diperlukan. Dengan
meningkatnya kebutuhan akan internet maka nantinya akan mendongkrak omzet
Telkom dalam bisnis ini. Ingat hukum “supply creates demand”.
Daftar Pustaka
Cuplikan
dari buku terbitan Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2003, “Narasi Upaya
Penguatan Usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat
Tahun 1997-2003 oleh kelompok
Perbankan dan Organisasi Pemerintahan”.
Indarti,
Nurul. “Rendah, Adopsi Teknologi Informasi oleh UKM di Indonesia” June 23,
2007.Posted by nurulindarti in Coretan
'Ilmiah'. Artikel pernah dimuat di Majalah
Pusat Informasi Perkoperasian. Dewan Koperasi
Indonesia. Edisi 281/Januari/Th.
XXIV/2007.
Kompas, 6
September 2000, “Di Irja, 300 Koperasi Tutup”.
MiIler,
Roger L. (1985). Intermediate Microeconomics, 2nd Edition. Singapore: Mc Graw
Hill.
Mubyarto.
“Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi”, Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel -
Th. II - No. 4 - Juli 2003.
Ngatidjo, “Garis
Besar Pemikiran Ekonomi Terpadu” saduran dan terjemahan dari Peter
Moers (moers@strohalm.nl) dan Stephen
DeMeulenaere (stephen@strohalm.nl).
bk3d@indo.net.id. Puskopdit Bekatigade,
Yogyakarta DIY.
Swasono,
Sri Edi. “Sistem Ekonomi Indonesia”, Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel - Th. I -
No. 2 – April 2002.
UU No.25
Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Widiyanto,
Ibnu (1998). “Koperasi sebagai Pelaksana Distribusi Barang: Realita dan
Tantangan”,(Sebuah Pendekatan Pragmatis).
NETSeminar: Merancang dan
Memelihara Jaringan Distribusi Barang Yang
Tangguh Dan Efisien Di Indonesia.
1-5 September 1998 FORUM TI-ITS.
www.depkop.go.id .”47 Koperasi NTB raih dana
bergulir , Wednesday, 22 August 2007.
www.depkop.go.id, “ Dana Bergulir Difokuskan ke
Sektor Usaha Produktif” Monday, 09
July 2007
www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/. “UKM
Sumbang 53,3 Persen Total PDB
Indonesia 2006”, 20-03-2007.
www.menlh.go.id.” Kriteria Usaha Kecil”.28
Agustus 2007.