Minggu, 12 Januari 2014

KRITIK TERHADAP KOPERASI (SERTA SOLUSINYA) SEBAGAI MEDIA PENDORONG PERTUMBUHAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH (UMKM)

Oleh: Bambang Suprayitno
(Staf Pengajar FISE Universitas Negeri Yogyakarta)

Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 4 Nomor 2, November 2007

C. Hambatan Sekaligus Kritik Terhadap Koperasi
Secara umum jika diinventaris maka kendala yang juga bisa dianggap kritik yang dihadapi oleh koperasi ada dari berbagai sisi sebagaimana berikut:
1.       Sumber Daya Manusia (SDM)
Banyak sekali kenyataan di lapangan yang mengungkapkan bahwa SDM yang ikut terlibat di dalamnya baik sebagai anggota, pengurus, maupun pengelola koperasi kurang bisa mendukung jalannya koperasi. Dengan kondisi seperti ini maka koperasi berjalan dengan tidak professional dalam artian tidak dijalankan sesuai dengan kaidah sebagaimana badan usaha lainnya.
Dari sisi keanggotaan, seringkali pendirian koperasi itu didasarkan pada dorongan yang dipaksakan oleh pemerintah. Akibatnya pendirian koperasi didasarkan bukan dari bawah melainkan dari atas sehingga pelaksanaan koperasi juga tidak sepenuh hati.
Pengurus yang dipilih dalam Rapat Anggota (RA) sering kali dipilih berdasarkan status sosial (baik strata ekonomi ataupun adat) dalam masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pengelolaan koperasi dijalankan dengan kurang adanya kontrol yang ketat dari para anggotanya. Hal ini disebabkan karena adanya rasa keengganan dari para anggota itu sendiri.
Sedangkan pengelola yang ditunjuk oleh pengurus seringkali diambil dari kalangan yang kurang profesional. Seringkali pengelola yang diambil bukan dari kalangan yang berpengalaman baik dari sisi akademis maupun penerapan dalam wirausaha melainkan dari orang-orang yang kurang atau bahkan tidak mempunyai pekerjaan.
2.       Konflik Kepentingan dari Sisi Konsep Koperasi
Koperasi pada dasarnya adalah badan hukum sebagaimana badan usaha lainnya seperti CV, PT, Firma dan sebagainya. Namun di sisi lain koperasi dituntut untuk mensejahterakan anggotanya. Di satu sisi koperasi jelas membutuhkan keuntungan untuk kelangsungan usahanya namun di sisi lain keberadaan berdasarkan didirikannya adalah untuk memajukan kesejahteraan anggotanya.
Ketika koperasi dipandang sebagai badan usaha maka tentunya koperasi (dalam hal ini pengelola) dituntut untuk mengoptimalkan keuntungan dengan cara mendapatkan pendapatan yang sebesar-besarnya. Namun mengingat semangat didirikannya koperasi adalah untuk memajukan anggotanya maka koperasi seperti halnya koperasi konsumen atau koperasi simpan pinjam tentunya tidak bisa mengambil margin yang banyak (untuk koperasi konsumen) atau tidak dapat menetapkan tingkat pengembalian yang besar (untuk koperasi simpan pinjam). Sebab koperasi ini tentunya beroperasi untuk melayani konsumen yang notabene adalah anggotanya sendiri.

3.       Keuangan
Kurang berkembangnya koperasi juga berkaitan sekali dengan kondisi keuangan (financial condition) badan usaha tersebut. Seringkali kendala modal yang dimiliki menjadi perkembangan koperasi terhambat. Kendala modal itu bisa jadi karena kurang adanya dukungan modal yang kuat dari dalam atau bahkan sebaliknya terlalu tergantungnya modal dari sumber di luar koperasi itu sendiri.
Kendala modal dari dalam tidak kuat biasanya kurang bisa ditutupi dengan sumber modal dari luar akibat kurang profesional pengelolaan manajemen koperasi. Hal ini bisa disebakan karena kurang adanya pengelolaan seperti pembukuan yang kurang baik ataupun dari segi keuangan koperasi yang kurang sehat. Akibatnya ketika koperasi itu ingin mengajukan permohonan modal terhadap pihak luar seperti bank ataupun lembaga keuangan lainnya maka seringkali ditolak. Sedangkan ketika menumpukan modal dari dalam keuangan koperasi maka kurang memungkinkan untuk melakukan ekspansi usaha akibat terlalu sedikitnya tingkat pengembalian yang diperoleh.
Sebaliknya ketika terlalu menggantungkan modal dari luar seringkali biaya yang menjadi beban kegiatan koperasi itu menjadi lebih besar dari tingkat pengembaliannya sehingga dari segi keuangan malah semakin memberatkan.
4.       Rendahnya Etos Kerja Personal dalam Koperasi
Rendahnya etos kerja ini selain berkaitan dengan rendahnya kualitas SDM juga bisa disebabkan karena kurang adanya rangsangan untuk meningkatkan gairah kerja para personel yang terlibat dalam kegiatan koperasi sendiri. Secara organisasi anggota koperasi (yang hanya sebatas sebagai anggota saja) hanya punya andil dalam pengumpulan modal baik itu berasal dari simpanan pokok, simpanan wajib atau simpanan lainnya. Namun di sisi lain yang bertanggung jawab dan banyak mengeluarkan keringat dan pikiran adalah para personel yang terlibat dalam pengelolaan koperasi mulai dari pengawas, pengurus, ataupun pengelolanya (manajer).
Sisa Hasil Usaha (SHU) diperoleh dari laba bersih yang dihasilkan dari kegiatan koperasi. SHU ini selanjutnya akan dipotong dana cadangan yang telah ditetapkan dalam rapat anggota untuk kepentingan ekspansi kegiatan usaha koperasi. SHU yang telah dikurangi tadi selanjutnya kan dibagikan kepada para anggotanya berdasarkan andilnya (modal yang telah disetorkannya).
Dari skema pembagian SHU ini jelas terlihat bahwa personel yang telah berbuat banyak untuk koperasi (pengawas, pengurus, dan pengelola) mandapatkan reward (penghargaan) yang lebih rendah daripada para anggota yang justru lepas tangan dalam pengelolaan koperasi. Skema ini tentunya member dampak negatif bagi semangat kerja orang-orang yang paling berjasa tadi.
5.       Kurang Bisa Mengoptimalkan Penggunaan Teknologi Informasi (TI) Baik Dalam Pengembangan Produk Maupun Pemasaran
Untuk koperasi produsen seringkali terjadi adanya dalam sisi pemasaran. Kebanyakan koperasi yang ada hanya mengandal pemasarannya berdasarkan sistem konvensional misalnya kurangnya publikasi baik melalui selebaran, media cetak, elektronik ataupun internet. Walaupun tidak menutup kemungkinan ada yang sudah menggunakan media internet, televise, radio, dan lain-lain. Namun banyak sekali yang masih mengandalkan cara-cara lama yaitu menyebarkan informasi dari mulut kemulut.
Karena kita sudah memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas maka sewajarnyalah untuk mengoptimalkan penggunaan Teknologi Informasi (TI). Sebab tidak menutup kemungkinan yang akan bersaing di Indonesia adalah perusahaanperusahaan besar yang juga menghasilkan produk yang serupa dengan yang dihasilkan dengan UMKM. Sedangkan UMKM di Indonesia seringkali menggunakan teknologi turun-temurun yang tidak berkembang sehingga nantinya akan kalah dengan produk asing baik dari kualitas mapun kuantitasnya. Sehingga penting sekali untuk memanfaatkan TI baik untuk kepentingan pengembangan produk maupun pemasarannya. Menurut hasil studi lembaga riset AMI Partners, hanya 20% UKM di Indonesia yang memiliki komputer.
Hal ini diduga karena rendahnya adopsi TI oleh UKM di Indonesia. Sekali lagi ini berkaitan dengan SDM dan tentunya juga keterbatasan modal. Berdasar survei yang dilakukan oleh penulis terhadap UKM di Yogyakarta, alasan UKM yang belum menggunakan komputer adalah karena tidak merasa butuh (82,2%), dukungan finansial yang terbatas (41,1%), dan karena tidak memiliki keahlian untuk menggunakan (4,1%).
Dari UKM yang telah mempunyai komputer, belum banyak yang menggunakannya untuk aktivitas strategis dan berorientasi eksternal. Hal ini didukung oleh data bahwa sebanyak 68,9% UKM menggunakan komputer hanya untuk mengetik surat atau laporan, 66,67% untuk melakukan perhitungan, 34,5% untuk mengakses Internet, 43,7% untuk mendesain produk, 28,7% untuk menjalankan sistem informasi, dan 20,7% untuk melakukan presentasi (Indarti, 2007).
D.  Solusi Terhadap Permasalahan Yang Ada Dalam Koperasi
Berangkat dari permasalahan yang dihadapi oleh koperasi maka penulis mengajukan beberapa solusi yang bisa diimplementasikan dalam koperasi sehingga unit usaha UMKM yang bernaung dibawahnya semakin maju dan kuat. Jika kinerja koperasi tidak dibenahi maka besar kemungkinan UMKM yang bernaung dibawahnya semakin lemah dan keropos karena adanya efek negatif karena bergabungnya dalam koperasi.
1.       Peningkatan Kualitas SDM dalam Koperasi
Anggota-anggota koperasi tidak dipungkiri berasal dari SDM yang kurang berkualitas oleh karenanya hal ini tidak bisa dipaksakan untuk meningkat dengan perkembangan yang baik. Yang paling penting untuk dijadikan fokus peningkatan SDM adalah personel yang terlibat dalam kegiatan operasional koperasi. Personel tersebut adalah pengawas, pengurus, dan pengelola.
a.       Pemilihan pengurus dan pengawas koperasi
Untuk pengawas dan pengurus yang notabene adalah anggota koperasi maka sebaiknya dipilih bukan dari anggota yang semata-mata tinggi dari strata sosialnya, namun adalah orang-orang yang dipandang cakap dan mempunyai logika yang cukup dalam mengawasi dan menjalankan koperasi sebagaimana komisaris dan direksi dalam badan usaha lainnya.
Hal ini memang cukup pelik, namun pemerintah yang punya kepentingan dan wewenang dalam hal ini seperti yang bernaung dalam Departemen atau Dinas yang bersangkutan serta kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang punya kepentingan dan konsen dalam bidang ini bisa melakukan pendampingan dalam pendirian dan jalannya koperasi. Pendampingan itu bisa berbentuk sosialisasi terhadap anggota tentang konsep koperasi ketika koperasi itu akan didirikan serta pelatihan terhadap para personel tersebut.
b.      Pemilihan pengelola koperasi
Sedangkan untuk pengelola koperasi (manajer), sebaiknya dipilih dari kalangan yang terpelajar ataupun dari kalangan yang berpengalaman. Kelompok ini dipandang masih relative punya idealisme dan dedikasi serta kemampuan yang cukup untuk menjalankan koperasi. Selain itu dari segi mental kelompok ini relatif masih bisa diarahkan sehingga juga sangat diperlukan pendampingan dari pihak pemerintah dan LSM tadi.
c.       Diadakannya magang mahasiswa
Alternatif untuk penyediaan dan peningkatan SDM dalam koperasi adalah dilakukannya magang bagi mahasiswa tingkat akhir atau yang telah lulus (khususnya dengan displin ilmu yang berkaitan dengan koperasi yang bersangkutan) untuk mengikuti kegiatan koperasi. Alternatif ini bisa dilakukannya dengan cara dibuatkan alternatif KKN sebagai pendamping UMKM. Dengan cara ini maka terjadi simbiosis mutualisme yaitu koperasi mendapatkan tenaga yang terampil dan di sisi lain mahasiswa mendapatkan ilmu dan menerapkannya pada dunia usaha secara nyata. Hal ini telah dilakukan di UGM dengan lembaganya yang bernaman SMEDC.
2.       Penguatan dari Sisi Finansial
Untuk membentuk finansial koperasi yang sehat maka diperlukan beberapa langkah sebagaimana berikut.
a.       Perlunya pembinaan untuk mempunyai tata buku yang lebih baik
Langkah ini merupakan langkah awal untuk melakukan penguatan dari sisi financial. Jika pencatatan serta pembuatan neraca dan laporan rugi yang baik maka pengurus mempunyai informasi yang cukup dari sisi keuangan yang sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan koperasi.
Dengan sistem tata buku (akuntansi) yang baik sebagaimana badan usaha lainnya maka pengelola koperasi mudah memantau pengeluaran dan menentukan pendapatan yang mana sekiranya bisa dioptimalkan. Selain itu pengelola koperasi bisa menghindari cash flow (aliran dana yang masuk dan keluar) yang sekiranya menimbulkan resiko yang lebih tinggi.
Tentunya ini berdampak untuk mendapatkan dana eksternal. Dengan adanya tata buku yang baik maka tentunya secara administratif akan memudahkan koperasi utnuk mendapatkan dukungan dana di luar modal anggotanya seperti pinjaman dari bank atau lembaga keuangan lainnya.
Langkah pembinaan ini bisa dilakukan mandiri dan juga perlu pendampingan dari pemerintah dan LSM yang punya kepentingan dan konsen dalam koperasi.
b.      Perlunya diterapkan sistem syariah (bagi hasil) dalam operasional koperasi
Sistem ini bisa dijadikan alternatif atau opsi bagi konsumen terutama untuk koperasi simpan pinjam. Pola ini ditujukan selain untuk merangsang para anggota memanfaatkan dana di koperasi juga untuk menghindari resiko yang lebih besar. Terlebih pola ini sekarang menjadi trend dan dirasa aman dari sisi spiritual.
Dengan system syariah maka baik koperasi maupun konsumen merasa untung satu sama lain sesuai dengan akad yang dibuat sebelumnya. Ketika usaha yang dijalankan konsumen merugi maka ruginya bisa ditanggung bersama. Sebaliknya ketika konsumen untung maka imbal balik yang didapat koperasi relative lebih besar jika menerapkan system bunga.
Oleh karena itu untuk menghindari kerugian dan mengoptimalkan keuntungan maka pihak koperasi tentunya perlu pendampingan terhadap konsumen, dengan begitu maka kegiatan konsumen lebih terarah dan bisa mencapai tujuannya.
3.       Perlunya Ketegasan Dalam Konsep Koperasi
Walaupun organisasi koperasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya namun operasional dari koperasi bukannya berasaskan sebagaimana organisasi sosial melainkan harus tetap dijalankan secara professional. Sehingga perlu ditanamkan kepada personel yang terlibat langsung dalam koperasi bahwa koperasi harus dijalankan secara professional dengan menjalakan kedisplinan dan menerapkan sikap kehati-hatian sebagaimana badan usaha lainnya. Dengan demikian maka tidak ada keteledoran trelebih penyelewengan yang nantinya berakibat meruntuhkan koperasi itu sendiri.
4.       Diperlukan Perombakan Sistem Pembagian SHU
Sebagaimana badan usaha lainnya dimana para direksi mempunyai reward yang tinggi maka di koperasi pun perlu diterapkan pembagian reward yang seadiladilnya. Sebagaimana pola pendelegasian dalam dunia usaha UMKM biasanyapengelola versus pemilik modal mendapatkan reward sebesar 60%: 40% atau 50%:50%. Dengan porsi ini maka perlu dilakukan revisi terhadap pembagian SHU yang sudah mentradisi.
Pola alur pemerolehan SHU yang dibagikan kepada anggota merujuk pada UU Koperasi dimana SHU diperoleh dari laba bersih yang dikurangi dengan dana cadangan. Dana cadangan ini ditetapkan dalam RA. Namun pada pelaksanaannya pemerolehan SHU yang dibagikan kepada para anggota bisa bervariasi sesuai dengan kesepakatan dalam RA tanpa melanggar pola yang tertulis dalam UU koperasi. Bisa jadi SHU sebelum dibagikan kepada para anggota dialokasikan untuk pendidikan , kesejahteraan, dan lain sebagainya. Merujuk pola alur pemerolehan SHU (sesuai dengan UU Koperasi) yang selanjutnya akan dibagikan kepada anggota maka pola pemerolehan SHU yang telah dimodifikasi bisa dijelaskan dengan ilustrasi sebagaimana tabel 3.
Tabel 3
Skema Reward Sesuai Kinerjanya

Skema I : 60% pengurus 40% pemodal

Kode
Keterangan
Jumlah (ribu)
L
Laba bersih ((pendapatan-berbagai biaya)-pajak)
50.000
G
Biaya Gaji (pengurus dan pengelola)
12.000
LR
Laba jika biaya Gaji tidak dihitung (LR=L+G)
62.000
Dengan skema 60% pengurus 40% pemodal maka :
GR
Gaji plus bonus semestinya harus sebesar 60% dari LR
37.200
B
Sehingga bonus untuk pengurus dan pengelola (ingat GR=G+B)
25.200

Sedangkan Dana Cadangan plus SHU besarnya 40% dari laba rill
24.800
DC
Jika Dana Cadangan yang ditetapkan maka:
10.000
SHU
SHU yang dibagikan kepada anggota
14.800
Jadi bonus sebesar 25,200 dibagikan kepada para pengurus dan pengelola sesuai dengan proporsi gajinya.
Sedangkan SHU yang dibagikan kepada pemilik modal (anggota) adalah sbesar 14,800 Dengan skema ini maka reward yang diterima pengurus (termasuk pengelola) adalah sebesar 60% sedangkan pemilik modal adalah 40%

Skema II : 50% pengurus  50% pemodal

Kode
Keterangan
Jumlah (ribu)
L
Laba bersih ((pendapatan-berbagai biaya)-pajak)
50.000
G
Biaya Gaji (pengurus dan pengelola)
12.000
LR
Laba jika biaya Gaji tidak dihitung (LR=L+G)
62.000
Dengan skema 50% pengurus 50% pemodal maka :
GR
Gaji plus bonus semestinya harus sebesar 60% dari LR
31.000
B
Sehingga bonus untuk pengurus dan pengelola (ingat GR=G+B)
19.000

Sedangkan Dana Cadangan plus SHU besarnya 40% dari laba rill
31.000
DC
Jika Dana Cadangan yang ditetapkan maka:
10.000
SHU
SHU yang dibagika kepada anggota
21.000
Jadi bonus sebesar 19,000 dibagikan kepada para pengurus dan pengelola sesuai dengan
proporsi gajinya.
Sedangkan SHU yang dibagikan kepada pemilik modal (anggota) adalah sebesar 21,000
Dengan skema ini maka reward yang diterima pengurus (termasuk pengelola) adalah
sebesar 50% sedangkan pemilik modal adalah 50%
Kedua skema ini hanyalah modifikasi dari pembagian SHU yang mengacu pada UU
koperasi. Namun jika dilaksanakan pada koperasi pada dataran nyata maka bisa lebih
bervariasi dan mendetail tergantung dari RAT koperasi yang bersangkutan.

Jika dilakukan pembagian SHU dengan pola lama maka pemilik modal (anggota) mendapatkan Rp40juta yang diperoleh dari laba bersih dikurangi Dana Cadangan. Sedangkan pengurus dan pengelola hanya mendapatkan gaji yang totalnya sebesar Rp12juta. Namun dengan pola yang baru maka selain menerima gaji maka pengurus (dalam hal ini pengurus dan pengelola) diberi bonus sehingga imbalan yang mereka terima bisa mencapai 60% atau 50% dari laba bersih riil yang didapatkan.
Dengan skema baru ini maka pengurus dan pengelola mendapatkan insentif yang nantinya dapat merangsang kinerja mereka lebih baik. Hal ini juga berguna menghindari penyelewengan yang dilakukan oleh pengurus dan pengelola. Skema yang baru ini secara logis dirasa lebih adil dibandingkan dengan skema yang lama. Ketika terjadi kerugian maka ditanggung pengurus maka sebaliknya sepantasnyalah ketika mengalami keuntungan yang besar maka tentunya pengurus mendapatkan reward yang lebih besar pula.
5.       Peningkatan Pemanfaatan TI
Memang koperasi memang terkendala dari sisi SDM dan permodalan. Namun sisi pemanfaatan TI ini perlu dipaksakan demi kemajuan koperasi itu sendiri. Selain peningkatan kualitas SDM yang bisa dilakukan dengan pendampiangn oleh instansi yang berkaitan dan LSM yang berkepentingan maka juga harus didukung turun tangannya pihak BUMN sperti halnya Telkom untuk membantu penyediaan sarana internet serta perlengkapannya.
Perusahaan-perusahaan besar khususnya BUMN perlu didorong untuk memberikan penyediaan sarana tersebut sebagaimana didengungkannya semangan Corporate Social Responsibility (CSR). BUMN seperti Telkom terlebih lagi yang punya keterkaitan sebagai penyedia prasarana internet didorong untuk membantu penyediaan TI ini. Dengan familiarnya kalangan koperasi dengan TI dan menikmati hasilnya sehingga secara tidak langsung dapat mendorong adanya kebutuhan akan internet sehingga jasa internet sangat diperlukan. Dengan meningkatnya kebutuhan akan internet maka nantinya akan mendongkrak omzet Telkom dalam bisnis ini. Ingat hukum “supply creates demand”.
Daftar Pustaka
Cuplikan dari buku terbitan Lembaga Penelitian SMERU, Desember 2003, “Narasi Upaya
Penguatan Usaha Mikro/Kecil di Tingkat Pusat Tahun 1997-2003 oleh kelompok
Perbankan dan Organisasi Pemerintahan”.
Indarti, Nurul. “Rendah, Adopsi Teknologi Informasi oleh UKM di Indonesia” June 23,
2007.Posted by nurulindarti in Coretan 'Ilmiah'. Artikel pernah dimuat di Majalah
Pusat Informasi Perkoperasian. Dewan Koperasi Indonesia. Edisi 281/Januari/Th.
XXIV/2007.
Kompas, 6 September 2000, “Di Irja, 300 Koperasi Tutup”.
MiIler, Roger L. (1985). Intermediate Microeconomics, 2nd Edition. Singapore: Mc Graw
Hill.
Mubyarto. “Dari Ilmu Berkompetisi ke Ilmu Berkoperasi”, Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel -
Th. II - No. 4 - Juli 2003.
Ngatidjo, “Garis Besar Pemikiran Ekonomi Terpadu” saduran dan terjemahan dari Peter
Moers (moers@strohalm.nl) dan Stephen DeMeulenaere (stephen@strohalm.nl).
bk3d@indo.net.id. Puskopdit Bekatigade, Yogyakarta DIY.
Swasono, Sri Edi. “Sistem Ekonomi Indonesia”, Jurnal Ekonomi Rakyat. Artikel - Th. I -
No. 2 – April 2002.
UU No.25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
Widiyanto, Ibnu (1998). “Koperasi sebagai Pelaksana Distribusi Barang: Realita dan
Tantangan”,(Sebuah Pendekatan Pragmatis). NETSeminar: Merancang dan
Memelihara Jaringan Distribusi Barang Yang Tangguh Dan Efisien Di Indonesia.
1-5 September 1998 FORUM TI-ITS.
www.depkop.go.id .”47 Koperasi NTB raih dana bergulir , Wednesday, 22 August 2007.
www.depkop.go.id, “ Dana Bergulir Difokuskan ke Sektor Usaha Produktif” Monday, 09
July 2007
www.menkokesra.go.id/content/view/3391/1/. “UKM Sumbang 53,3 Persen Total PDB
Indonesia 2006”, 20-03-2007.

www.menlh.go.id.” Kriteria Usaha Kecil”.28 Agustus 2007.